O P I N I
Oleh : Makmuri, S.Ag (Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Bulu)
“Moderasi” sering diartikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstriman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi dijelaskan sebagai tindakan menengahi masalah.
Secara umum, moderasi melibatkan aktivitas mengarahkan dan menengahi komunikasi interaktif antara pihak-pihak, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan kata lain, moderasi adalah tindakan yang bertindak sebagai penengah dalam penyelesaian masalah, membantu menemukan solusi dan kedamaian dengan mengurangi potensi kekerasan atau keekstriman.
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta), melalui wahyu Al-Qur’an telah menempatkan umatnya (kaum muslimin) sebagai umat yang washathan, yaitu mampu menjadi penengah (washith) dalam menyikapi persoalan yang terjadi di tengah kehidupan manusia. Hal ini tercermin dalam Surat Al-Baqarah ayat 143:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang menjadi penengah (washathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa umat Islam disebut sebagai umat penengah yang harmonis dan seimbang, karena mampu menyatukan dua kutub agama terdahulu, yaitu sikap keberagamaan Yahudi yang terlalu duniawi dan Nashrani yang terlalu spiritual.
Hal ini juga menyoroti kesiapan umat Islam untuk menerima ketetapan Allah saat perubahan arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Masjidil Haram di Makkah. Peristiwa ini menegaskan kemurnian dan kemandirian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., yang tidak terpengaruh oleh pengagungan terhadap Masjidil Aqsha yang ada pada umat terdahulu.
Moderasi Ajaran Islam
Selain menjelaskan bahwa umat Islam berperan sebagai penengah dalam mempertahankan keseimbangan antara sikap keberagamaan umat Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga menggambarkan bahwa hakikat ajaran Islam sendiri secara alami mencerminkan “moderasi” dalam setiap aspeknya. Sebagai contoh, dalam aspek akidah, ajaran Islam berfungsi sebagai penengah antara keyakinan kaum musyrikin yang terjebak dalam khurafat dan mitos, serta keyakinan sekelompok yang menyangkal keberadaan segala sesuatu yang metafisik.
Islam tidak hanya mengajak manusia untuk beriman pada hal-hal gaib, tetapi juga mendorong akal untuk memahami ajarannya secara rasional. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat berperan sebagai penengah yang relevan dengan fitrah kemanusiaan.
Dalam aspek ibadah, Islam menetapkan kewajiban-kewajiban yang sangat spesifik, seperti shalat lima kali sehari, puasa Ramadhan setiap tahun, dan haji sekali seumur hidup. Namun, selain itu, ajaran Islam memberikan kebebasan bagi umatnya untuk mengembangkan kreativitas, menciptakan karya, serta bekerja mencari rezeki di dunia.
Pada aspek akhlak, Islam hadir untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Tubuh diberi kesempatan untuk menikmati kenikmatan duniawi yang diberikan Allah, sementara jiwa diarahkan untuk mematuhi aturan-aturan Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Keseimbangan antara pengabdian untuk dunia dan akhirat telah diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Qashash ayat 77:
“Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat di atas memberikan tuntunan kepada umat Islam untuk menerapkan moderasi dalam tiga pesan utama. Pertama, menyeimbangkan persiapan ibadah untuk mencapai kebahagiaan akhirat dengan menikmati kenikmatan duniawi sesuai dengan keridhaan Allah. Kedua, menyeimbangkan penghargaan terhadap nikmat yang diberikan Allah dengan melakukan kebaikan kepada sesama manusia sebagai bentuk balasan atas nikmat-Nya. Ketiga, menyeimbangkan pengakuan terhadap penciptaan dan pemeliharaan Allah terhadap alam semesta dengan larangan keras terhadap tindakan merusak di muka bumi.
Upaya untuk mencapai keseimbangan seperti yang disebutkan dapat terwujud dengan baik jika setiap umat Islam menjaga keteguhan dalam mengaktualisasikan iman dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari, serta senantiasa menyertai dengan doa memohon bantuan Allah, sebagaimana terungkap dalam Surah Al-Baqarah ayat 201:
“Dan di antara mereka ada yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.'”
Doa ini mencerminkan sikap tawakal umat Islam untuk menyempurnakan usaha yang mereka lakukan dalam mewujudkan iman dan amal yang baik dalam kehidupan nyata. Salah satu wujud nyata dari realisasi doa tersebut adalah aktifnya umat Islam dalam menjaga keseimbangan antara hubungan vertikal mereka dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas). Allah SWT menegaskan dalam Surah Ali Imran ayat 112:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan Allah serta dengan sesama manusia sebagai bagian integral dari kehidupan umat Islam.
Dalam usaha mencapai keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, umat Islam diajarkan untuk memiliki sikap moderasi dalam berinfak atau bersedekah, yaitu memilih jalan tengah antara boros dan kikir. Dalam Surah Al-Furqan ayat 67, Allah SWT menegaskan:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah (qawâman) antara yang demikian.”
Ayat ini menjelaskan kepada umat muslim tentang prinsip umum dalam berinfak dan bersedekah. Mereka dianjurkan untuk berinfak dengan tidak berlebihan (israf) dan tidak pula pelit (taqtir), melainkan berada pada jalan tengah yang disebut qawwâm, yang artinya adil atau tegak. Sikap ini berada di tengah-tengah antara kedua ekstrem, menunjukkan moderasi dan proporsionalitas dalam pengeluaran harta.
Pengertian kata “qawâman” pada ayat tersebut juga mengandung makna moderasi dan proporsionalitas, yang menunjukkan keseimbangan antara dua titik sehingga tidak ada keberatannya. Infak dibedakan menjadi dua jenis: yang terpuji, yaitu yang dikeluarkan dengan baik sesuai dengan syariat seperti sedekah wajib dan infak untuk keluarga; dan yang tercela, seperti pemborosan dan sikap pelit dalam jumlah atau praktiknya.
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa ajaran Islam bersifat universal sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan mengajarkan umatnya untuk berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan sikap seimbang dan moderasi, yang tidak bertentangan dengan akal sehat dan fitrah kemanusiaan.
Moderasi Beragama dalam Islam
Moderasi dalam beragama merujuk pada sikap, perilaku, dan pemikiran yang berperan sebagai penengah dalam menangani masalah terkait agama, baik dalam pengamalan ajaran agama oleh pemeluknya maupun dalam menghadapi perbedaan antar agama. Tujuannya adalah menemukan solusi tanpa kekerasan atau ekstremisme.
Dalam konteks pengamalan ajaran agama, umat Islam diajarkan untuk menjalankan agama dengan seimbang (tawazun), yang menciptakan kepuasan dan kegembiraan dalam menerapkan ajaran tersebut. Terhadap umat berbeda agama, Islam mengajarkan untuk menghargai perbedaan keyakinan, menunjukkan toleransi, menghormati cara ibadah mereka, dan menghindari sikap kasar atau ekstrem yang dapat menyakiti perasaan mereka.
Dalam dialog dengan Ahli Kitab, Islam mengarahkan untuk berdebat dengan cara yang paling baik, tanpa menggunakan argumen yang kasar atau merendahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Ankabut ayat 46.
Selain itu, Islam melarang keras menjelek-jelekkan atau menghina tuhan yang disembah oleh penganut agama lain, untuk mencegah terjadinya konflik dan rasa sakit hati yang berlebihan. Allah SWT memperingatkan tentang hal ini dalam Surah Al-An’am ayat 108, mengajarkan bahwa setiap umat memiliki keyakinan dan perbuatan mereka sendiri, dan akhirnya akan bertanggung jawab kepada Allah atas semua itu.
Islam juga mendorong toleransi terhadap umat berbeda agama dengan berperilaku baik dan adil terhadap mereka, selama mereka tidak memerangi umat Islam karena agama dan tidak mengusir umat Islam dari tempat tinggal mereka yang sah. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8, yang menunjukkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dengan demikian, moderasi dalam beragama dalam Islam mengandung prinsip-prinsip yang mempromosikan perdamaian, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan, sesuai dengan ajaran rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk mencari kebahagiaan di akhirat, tetapi tidak melupakan kenikmatan dunia yang telah diberikan oleh Allah. Selain itu, umat diminta untuk berperilaku baik dan menjaga keharmonisan di bumi, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang menyebabkan kerusakan.
Di samping itu, dalam Islam, sikap moderasi dalam beragama juga mencakup perintah kepada umatnya untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan untuk siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, termasuk membela hak-hak keadilan bagi umat yang berbeda agama. Prinsip ini secara umum tercermin dalam Surah Al-Maidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dengan mempertimbangkan dalil-dalil Al-Qur’an yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa moderasi dalam beragama adalah bagian integral dari ajaran Islam. Keutamaan dan keagungan seorang Muslim di hadapan Allah tidak hanya dinilai dari kepatuhan pribadinya dalam menjalankan ibadah langsung kepada-Nya, tetapi juga sejauh mana kepatuhannya dalam menjaga hubungan sosial yang baik di masyarakat, termasuk terhadap umat beragama lain.
Penutup
Ajaran Islam yang bersifat universal, sebagai rahmat bagi seluruh alam, mengajarkan umatnya untuk berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan prinsip tawazun (seimbang) dalam aspek duniawi dan ukhrawi.
Islam juga memberikan landasan bagi praktik moderasi dalam beragama, yang meliputi menghargai perbedaan agama, menghormati keyakinan dan cara ibadah umat lain, mendorong toleransi, dan mempromosikan keadilan untuk semua umat beragama.
Editor:
Mohamad Sidiq, S.HI., Sugiyanto, S.Ud, M.Ag., Darmawan, S. Kom., M.M.